Total Tayangan Halaman

Minggu, 21 Juni 2009

Tarikh Adab

PENDAHULUAN

Jaman Jahiliyah selama ini dipahami oleh banyak orang sebagai sebuah jaman yang penuh dengan kenistaan. Jaman Jahiliyah dikenal sebagai masa penuh kegelapan yang didalamnya penuh kenistaan dan kebejatan paradaban. Tidak banyak orang yang tahu bahwa di jaman Jahiliyah terdapat para penyair fenomenal lahir, mereka menghasilkan syair-syair yang memiliki keindahan dan susunan bahasa yang indah dan memiliki makna yang mendalam.

Syair menjadi hal yang sangat berharga bagi mereka. Penyair menjadi tolak ukur kehebatan kaumnya, mereka menganggap penyair sebagai aset yang sangat berharga yang akan membesarkan kaum mereka. Perkataanya sangat dihargai, kata-katanya menjadi hukum, kedudukannya sangat penting dan dimulyakan dikalangan kaumnya. Kedatangan penyair bagi mereka adalah anugerah, karenanya jika mereka mempunyai penyair, mereka akan mengadakan pesta, makanan-makanan dihidangkan, gadis-gadis didatangkan sebagai bukti kebahagiaan mereka.

Syair menjadi alat bagi mereka untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting (Ayyamul ‘Arab) dan untuk Genealogi (Anshab). Kedua hal tersebut mereka rekam dalam untaian syair yang indah. Selain it, Untaian kata dalam syair Arab bagi masyarakat Arab, bukan kata tanpa makna bukan semata-mata bunyi yang disuarakan lisan tanpa maskud (Absurd), melainkan sarana yang ampuh dan sakral untuk membakar semangat, menarik perhatian, dan meredam emosi yang bergejolak di tengah kehidupan masyarakat. Bisa dipahami kalau masyarakat Arab meyakini bahwa penyair memiliki kekuatan supranatural atau magis yang tertuang dalam syair. Keberadaan syair ini sangat diperhatikan dan dipatuhi substansinya karena ia merupakan realitas sebuah kabilah. Nampaknya inilah yang menjadi alasan bagi mereka untuk menempatkan posisi penyair pada satu posisi yang terhormat. Ia menjadi simbol kejayaan kabilah dan penyambung lidah yang mampu mengejawantahkan kebaikan dan kemenangan kabilah sebagaimana mereka melukiskan kejelekkan dan kekalahan perang yang diderita oleh kabilah lain. Karenanya kita akan menemukan syair Jahili banyak dibuat dalam bentuk Madah (Pujian atau Ode) dan Hija’ (Satire atau ejekan)i.

SEKILAS TENTANG ARAB KLASIK

1. Asal Usul

Bangsa Arab berasal dari bangsa-bangsa Samiah (keturunan Sam bin Nuh as). Nenek moyang bangsa Arab berasal dari Mesopotamia, yaitu negeri yang terletak di anatar sungai Dajlah (Tighris) dan furat (Eufhrat). Setelah jumlah mereka semakin banyak dan tempat tinggal mereka semakin sempit kemudian mereka berpindah ke daerah-daerah yang berdekatan dengan mereka, sebagian diantara mereka ada yang sampai ke semenanjung jazirah Arab dan mulailah jazirah Arab menjadi tempat tinggal mereka.ii

Ahli sejarah membagi asal usul bangsa Arab kuno menjadi tiga bagian:

1. Bangsa Arab al Ba’idah (البائدة)

Yaitu bangsa Arab yang telah dimusnahkan oleh Allah dari muka bumi ini dan mereka telah punah. Data tentang mereka hampir tidak ada, kecuali sejarah tentang mereka yang hanya ada di dalam Al-Qur’an. Mereka tinggal di daerah Ahqaf, dan Tsamud; mereka terdapat di daerah Hajar Dab, wadhi al Qura antara Hijaz dan Syam. Menurut An Nisabun bahwa kabilah mereka terdapat pada masa Sam bin Nuh, tetapi tidak ada yang bisa memastikan hal ini.

2. Banu Qahtan (بنوقحطان)

Mereka adalah ketrurunan Ya’rub ibnu Qahtan. Kaum ini berasal dari Mesopotamia dan karena daerah ini telah sempit kemudian mereka pindah ke daerah Yaman, yaitu daerah Saba dan Hamir. Kaum Saba telah ada semaenjak 8 abad SM, mereka telah memiliki kebudayaan yang maju. Mereka telah mengenal bercocok tanamiii.

3. Bani Ismail

Ismail adalah putera Nabi Ibrahim as dari istrinya Siti Hajar. Nabi Ibrahim berasal dari kota Ur, sebuah kota di Babilonia yang diperintah Raja Namrud seorang raja yang lalim.

Nabi Ibrahim menyeru penduduk Ur untuk menyembah Allah, tetapi mereka menolak sampai akhirnya kabar dakwah Ibrahim didengar oleh raja Namrud, kemudian raja memerintahkan untuk membakar Ibrahim, namun Ibrahim selamat. Oleh sebab itu, nabi Ibrahim pindah ke Palestina sampai suatu ketika Palestina dilanda krisis makanan, setelah itu nabi Ibrahim pindah ke mesir bersama istrinya Sarah. Di mesir inilah Ibrahim diberi hadiah oleh Fir’aun, diantaranya seorang wanita yang bernama Hajar yang kemudian dijadikan istrinya, setelah kembali ke Palestina. Atas suruhan Sarah, Siti Sarah bersama anaknya Ismail diantarkan ke Hijaz, tepatnya di lembah (Wadi) Mekah. Di sini pula berdiam kabilah Jurhum dari negeri Yaman, sesudah runtuhnya bendungan Ma’rib. Kemudian hiduplah Ismail bersama kabilah Jurhum. Nabi Ismail mempunyai 12 putra, namun dari ke-12 putranya, hanya Adnanlah yang mempunyai keturunan, oleh sebab itu Bani Ismail dinamai dengan Bani Adnan.

Bani Adnan tidak mendirikan kerajaan karena mereka hidup mengembara, hanya suku Quraisy saja yang menetap di Mekkah. Merekalah yang menjaga dan memegang kunci Ka’bah yang dibangun oleh leluhur mereka yaitu nabi Ibrahim. Hingga suatu ketika, Bani Khuza’ah yang pindah dari Yaman merampas kota Mekkah. Hal ini tidak berlangsung lama, karena salah seorang pemimpin banu Adnan yaitu Qushai dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Kuza’ah dan kemudian mengusir mereka dari mekah. Karena keberhasilan inilah, akhirnya Qushai diangkat menjadi pemimipin bani Adnan. Oleh sebab itulah Ka’bah dimuliakan seluruh bangsa Arab dan mereka menjiarahinya setiap tahun. Penjagaan dan seluruh hal yang berhubungan dengan Ka’bah diurus oleh suku Quraisy, karenanya suku Quraisy dihormati dan dimuliakan oleh seluruh penduduk jazirah Arab.

2. Letak Geografis dan sosiologi Arab Jahili

Jazirah Arab adalah sebuah dataran tinggi yang membujur luas, daerahnya bergunung-gunung, dan berupa gurun pasir. Jazirah Arab merupakan daerah yang sangat gersang karena di sana sangat jarang terjadi hujan. Karena itulah di sana tidak ada sungai-sungai, yang ada adalah sumber mata air dan perigi. Di dekat sumber air inilah pohon-pohon tumbuh subur. Tempat mata air ini dinamakan dengan wahah atau oase.

Karena Arab merupakan daerah gurun pasir, maka tidak terdapat sumber air yang banyak, udaranya panas dan kering. Jadilah bangsa Arab, bangsa yang miskin, buminya tandus dan penduduknya hidup dalam kekurangan. Mereka hidup berpindah-pindah (nomaden) untuk mencari sumber kehidupan baru, mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mempertahankan hidup. Mereka mencari tempat subur yang ditumbuhi rerumputan dan tumbuh-tumbuhan untuk makan mereka dan binatang ternak. Jika bahan makanan di tempat itu telah habis merekapun berpindah lagi ke tampat baru yang ada sumber makanannya. Sebab itu sering terjadi perselisihan di antara mereka dalam memperebutkan tempat yang subur itu. Mereka berperang demi merebut atau mempertahankan tanah mereka, mereka adalah orang-orang ahli perang dan pengembara yang handal.

Namun dibalik itu semua, mereka adalah bangsa yang sangat menghormati tamu, penyantun, pemurah dan berani. Sifat-sifat inilah yang kelak membesarkan mereka menjadi sebuah bangsa yang besariv.

Pada masa Jahiliyah Negara Arab kuno telah memiliki beberapa kota penting. Ada lima kota penting di Arab, diantaranya:

1. Tuhamah

Ia adalah sebuah daerah di dataran rendah, terletak di daerah aliran Laut Merah. Sebelah utara berbatasan dengan Hijaz dan sebelah selatan berbatasan dengan Yaman.

2. Hijaz

Ia terletak antara Tuhamah dan Najd. Kota-kotanya yang terkenal adalah Makkah, Thaif, dan Madinah. Daerahnya melintang sepanjang sekitar dua mil, dan luasnya dari timur diukur dari pinggiran gunung abi Qais dan dari barat dari gunung Qa’iqa’an. Di Mekkah terdapat Baitul Haram, di dekatnya tinggal suku Quraisy, sebelah utaranya terdapat gunung Tsur, disana terdapat gua Hira sebagai turunnya wahyu Nabi Muhammad saw. Madinah dulunya bernama Yatsrib, tempatnya lebih baik daripada Mekkah, ia menjadi tempat hijrahnya Nabi. Di sana tinggal suku Aus dan Khajraj dari golongan Anshar dan Bani Quraidzah, Nadhir, dan Qaiquna’ dari golongan Yahudi.

3. Yaman

Terletak di pinggiran bagian selatan jazirah Arab, termasuk di dalamnya adalah Hadramaut, Mahrah, Nahran, ‘Amman, Syahar, Shan’a, Dhafar, dan Ma’arib. Gurun Ahqaf terdapat di sana, dulu sebagai tempat tinggal kaum ‘Ad.

4. Najd

Terletak antara Syam, Irak, Yamamah, dan Hijaz. Ia adalah negeri terbaik di daerah Arab, ia adalah Negara yang paling baik udaranya dan paling indah pemandangannya.

5. ‘Arud

Dinamakan juga dengan Yamamah. Ia adalah Negara yang subur, di sana terdapat kurma yang melimpahv.

3. Sejarah Timbulnya Syi’ir Arab

Menurut Ahmad Hasan Az-zayyat sebagaimana dikutip Mas’an Hamid (1995; 14) syi’ir Arab pada awalnya hanya berupa kebiasaan bangsa Arab yang suka menggubah syi’ir. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan mereka serta bahasa mereka yang puitis dan lisan mereka yang fasih, hal ini menjadi faktor yang kuat untuk menolong mereka dalam mengubah syi’ir.

Syi’ir Arab tidak langsung timbul dalam bentuk yang sempurna, tetapi berkembang sedikit demi sedikit, tahap demi tahap. Yaitu, dari bentuk ungkapan kata yang besar (mursal) menuju sajak yang dan kemudian menjadi syi’ir yang ber-baharvi Ramal, kemudian menuju syi’ir yang ber-bahar Rajaz. Mulai fase inilah syi’ir Arab dikatakan sempurna dan dalam tempo yang cukup lama syi’ir tersebut berkembang menjadi susunan kasidah yang terikat dengan wazanvii dan qafiyahviii.

Sebagaimana telah di sebutkan di atas bahwa syir’ir pertama Arab menggunakan bahar Ramal, sebagaimana yang tampak pada kata-kata yang telah diucapkan mudhlar bin Nizar ketika jatuh dari unta, dia dianggap sebagai orang yang pertaama meletakan benih syi’ir Arab. Dia mengucapkan kata-kata ويداه ويداه suara tersebut membikin untanya bertambah semangat dalam perjalanannya. Akhirnya ucapan-ucapan tersebut ditirukan oleh kabilah Arab ketika mengendarai unta mereka, mereka selalu berkata هيدا هيدا . lalu ucapan-ucapan itu terus berkembang dikalangan kabilah Arab. Terutama ketika mereka melakukan hubungan dagang dengan antara kabilah satu dengan kabilah lain, antara kota satu dengan kota lainnya, bahkan antara negeri satu dengan lainny. Letak pasar yang satu dengan lainnya berjauhan, seperti pasar hajar, masyqar berada di kota Bahrain, dan pasar syahar di hadramaut, Shana’ berada di kota Yaman, sedangkan pasar ‘Ukaadz, Majannah dan Dzul Majaaz berada di kota Hijaz.

Perjalanan untuk menuju pasar-pasar tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dan mereka menempunhnya dengan mengendarai unta. Hal ini mengundang mereka untuk berkhayal sambil menyanyikan lagu-lagu sebagai pelepas dan pengisi waktu dalam perjalanan yang jauh ituix.

MENGENAL SASTRA JAHILI

1. Tujuan Syi’ir Jahiliyah

Orang-orang Arab menuliskan syi’ir untuk segala hal yang mereka rasakan lewat inderanya, terlintas di dalam hatinya, dan sesuatu yang terdapat di sekitar mereka. Mereka menuangkan itu semua dalam sebuah syi’ir. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ahmad al Iskandari dan Musthofa ‘Anani dalam al Wasith (tt:46), tema-tema besar yang sering mereka kemukakan adalah sebagai berikut:

1. al-Hamasah (الحمسة)

Syair ini berisikan sifat-sifat yang berkaitan dengan keberanian, kekuatan, dan ketangkasan seseorang di medan perang, dan mencemooh orang-orang yang penakutx.

2. an Nasib (النسيب)

Nasib disebut juga dngan At Tasybib. Tema ini mereka gunakan untuk mengungkapkan kekaguman mereka kepada wanita, menyebutkan keindahan-keindahannya, menerangkan keadaanya, menyesali kepergiannya, berisi kerinduan-kerinduan mereka. Dalam syair nasib mereka tidak pernah memusuhi wanita, syair nasib ini memiliki kedudukan yang pertama di antara meraka karena dalam syair nasib ini terdapat suatu kesenangan jiwa dan pikiran dimana di dalamnya terdapat cinta dan itulah suatu rahasia seluruh pertemuan manusia. Penduduk badui adalah orang-orang yang paling banyak bercinta karena mereka memiliki banyak waktu luang dan bertemu dengan kabilah-kabilah yang bermacam-macam pada musim panas dan semi. Dan jika mereka berpisah mereka saling mengingat kenangan itu, seperti mengingatnya sang kekasih dengan yang dikasihinya. Kemudian mereka kembali ke tempat pertemuan itu, kemudian mengingat kembali kenangan-kenangan pertemuan itu, mengingat kembali tentang mereka dan apa-apa yang mereka lihat dari peninggalan-peninggalan sang kekasih lalu mereka tuangkan dalam sebuah syair.

3. al Fakhr (الفخر )

Yaitu tema syair yang membangga-banggakan kelebihan yang dimiliki oleh seorang penyair atau sukunya. Seperti sifat keberanian, kemuliaan nenek moyang, ketinggian keturunan, dan kemsyhuran sukunya..

4. Al-Madh ( المدح )

Adalah tema syair yang berisi pujian kepada seseorang, terutama mengenai sifatnya yang baik, akhlaknya yang mulia, tabiatnya yang terpuji, atau sikapnya yang suka menolong orang dalam kesulitan. Juga menyebutkan keindahan-keindahan badani, seperti: ketampanan, kecantikan, dan lain-lain. Penyair-penyair yang terkenal dengan tema ini diantaranya; Zuhair, Nabighah dan al-A’syaxi.

5. Ar-Ritsa ( الرثاء )

Yaitu tema syair yang mengungkapkan rasa putus asa, kesedihan, dan kepedihan. Dalam Rista kadang-kadang penyair mengungkapkan sifat-sifat terpuji dari orang-orang yang meninggal, atau mengajak kita untuk berfikir tentang kehidupan dan kematian. Tema ini sangat memberikan pengaruh karena penyair menyajikan tema yang benar-benar nyata terjadi di hadapan mereka.

6. Al Hija ( الهجاء )

Ialah membicarakan tentang kejelekan–kejelekan tentang seseorang atau kabilahnya dan mengingkari tentang kemulian-kemuliaannya serta kebaikan-kebaikannya. Al Hija’ digunakan untuk menjatuhkan seseorang, yang di dalamnya berisi kebencian dan ketidaksukaan terhadap orang yang dibenci dengan menyebutkan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya.

7. Al- I’tidar ( الإعتذار )

Yaitu berisi penolakan penyair terhadap tuduhan yang ditimpakan kepadanya dan meminta belas kasihan dengan mengemukakan alasan-alasan akan ketidakbersalahannya dan meminta pengertian dari orang yang dituju. Penyair meminta maaf atas segala kekeliruannya dengan menyatakan penyesalan yang mendalam.

8. Al-Wasf ( الوصف )

Yaitu tema syair yang mendiskripsikan keadaan di sekitarnya. Misalnya jika ia seorang musafir, maka ia akan menggambarkan tentang perjalanannya bersama untanya, dia menggambarkan padang pasir yang luas, panas matahari yang menyengat dan dinginnya malam. Jika ia seorang yang sedang berperang, maka ia menggambarkan keganasan peperangan dan situasinya. Jika ia seorang pemburu, maka ia menceritakan tentang perburuannya, kuda berburunya dan alat untuk berburu, dan sebagainya.

9. Al-Ghazal ( الغزل )

Yaitu tema syair yang membicarakan wanita yang dicintai, baik mengeanai wajahnya, matanya, tubuhnya, lehernya, dan sebagainya. Penyair juga mengungkapkan tentang kerinduan, kepedihan, dan kesengsaran yang dialaminyaxii.

2. Pasar-Pasar Arab

Sastra dilahirkan dan tak jarang juga melahirkan lingkungan. Habitat sastra berpengaruh besar terhadap perkembangan sastra, karenanya ‘komunitas’ sastra bagi dunia sastra adalah keniscayaanxiii.

Komunitas sastra dalam pengertian adanya satu acara rutin untuk kegiatan sastra, seperti pementasan pembacaan puisi telah ada sejak jaman Jahiliyah. Kegiatan-kegiatan seperti itu mereka lakukan di pasar-pasar di daerah Arab, dimana pada saat itu pasar sebagai pusat kegiatan masyarakat. Sastrawan Jahiliyah mengekspresikan hasil karyanya dipasar-pasar rakyat. Pasar ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan sastra Jahili, karena adat orang Arab saat itu, jika mereka melakukan perdagangan mereka bepergian dari satu jazirah ke jazirah lain, terus menerus seperti itu sepanjang tahun. Adapun pasar-pasar yang terkenal saat itu adalah pasar Hajar dan Musyqar yang terdapat di Bahrain, pasar Syahar di Hadramaut, pasar Shan’a di Yaman. Pasar ‘Ukadz, Majnah, Dzul Majaz, dan Habasyah di Hijaz (sekarang Makkah). Adapula pasar-pasar yang terletak antar daerah Arab dan daerah ‘Ajamxiv, diantaranya pasar Ablah, Hirah, dan Anbar.

Pada saat itu pasar tidak hanya menjadi tempat perdagangan. Pasar menjadi tempat untuk membangga-banggakan suku mereka, keturunan mereka, dan derajat mereka juga sebagi tempat memutuskan hokum jika ada pertentangan di masyarakat. Selain itu, pasar juga menjadi tempat berkumpulnya para penyair, sastrawan, ruwatxv, kritikus sastra, ahli khitobah. Para penyair membacakan syair-syair mereka yang indah dan memiliki nilai sastra yang tinggi, kemudian para kritikus akan menanggapi syair tersebut, baik dari segi kandungan, isi sastra, keindahan susunan dan bahasanya. Begitupun para penghafal Ruwat akan mengahfal syair-syair terbaik saat ituxvi.

3. Ayyamul ‘Arabi

Ayamul ‘Arabi adalah sebutan untuk peristiwa-peristiwa bersejarah pada jaman Jahiliyah. Pada masa Jahiliyah, jazirah Arab dipenuhi dengan peperangan. Perang menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Perang tidak hanya mereka lakukan untuk merebut sebuah daerah, perebutan air, melindungi saudara mereka, tapi juga mereka jadikan sebagai ukuran kehebatan sebuah kaum. Hampir semua masalah yang ada di antara mereka diselesaikan dengan peperangan, karenanya bagi mereka perang menjadi suatu hal yang sangat penting dan berarti.

Peperangan demi peperangan yang terjadi pada masa itu, tertanam dan membekas di kedalaman lubuk mereka, sehingga banyak syair yang muncul akibat adanya peristiwa-peristiwa (Ayamul ‘Arabi) ini. Peristiwa-peristiwa ini dianataranya adalah peperangan antara orang arab dengan orang Faras disebut dengan Yaum Dzi Qar, peperangan antara orang Yaman dan orang Nazaret dinamakan Yaum Khuzaji, Yaum Halimah yaitu peperangan antara orang Manadziroh dan Ghasasanah, Yaum Zurin yaitu peperangan antara orang Rabi’ah dan orang Nazaret, peperangan antara orang ‘Abas dan Dzibyan dinamakan Perang Dahis dan Ghabra, dan peperangan Yabus antara orang Bakr dan orang Taghlab . Peperangan-peperangan ini telah menjadi inspirasi bagi syair-syair mereka, seandainya tidak ada peperangan ini barangkali syair Jahili yang sampai kepada kita hanya sedikit jumlahnya.

4. Thabaqat Al Udaba (Kedudukan Penyair)

Para penyair Jahiliyah pada masanya ditempatkan pada kedudukan yang mulia. Kata-katanya benar-benar diperhitungkan, kata-katanya menjadi hukum, kekuasaannya mengalahkan kekuasaan lainnya. Karena para penyair ini menjadi senjata bagai kaumnya, dia berbicara tentang kemuliaan-kemuliaan kaumnya dan merupakan senjata mereka yang digunakan untuk mempertahankan kemuliaan mereka, dengan penyair-penyair inilah mereka mengagungkan diri mereka, berbangga-bangga dan bermegah-megahan. Tidak ada satu hal pun yang membuat mereka lebih bahagia dari adanya seorang penyair yang handal yang ada di tengah-tengah mereka. Karenanya jika sebuah kabilah memiliki seorang penyair yang hebat, datanglah kabilah-kabilah lain untuk mengucapkan selamat, pada saat itu di buatlah pesta, makanan-makanan dihidangkan, didatangkan wanita-wanita untuk bermain dan mendendangkan lagu-lagu sebagaimana yang mereka lakukan ketika ada acara pengantin. Anak-anak dan orang tua bercampur saling meluapkan kegembiraan. Kebiasaan orang Arab Jahili mengucapkan selamat hanya ketika ada seorang anak laki-laki, seorang penyair yang terkenal dan kuda yang beranakxvii.

Sebagian bangsa Arab memuliakanpara penyairnya dengan menjaga dan menyinpan syair-syairnya dalam kehidupan mereka. Mereka sangat memuliakan penyair karena penyair dianggap memberikan manfaat yang banyak bagi mereka. Jika mereka tidak memilikinya, maka mereka serasa ditimpa kehinaan yang akan menurunkan derajat mereka yang berupa aib bagi mereka. Tetapi jika mereka memilikinya mereka berbangga-bangga dengan apa yang mereka milikixviii.

5. Periwayatan sastra Jahiliyah

Sastra pada jaman Jahili tidak hanya dilestarikan oleh kalangan penyair saja, tetapi masyarakat Jahili memiliki kepedulian yang tinggi dalam melestarikannya. Meski mereka dikenal sebagai masyarakat yang Ummi, masyarakat yang buta huruf. Tetapi, mereka adalah masyarakat yang kuat hafalannya. Hafalan merupakan tradisi yang telah mengakar pada masyrakat Jahili. Ada faktor-faktor yang menyebabkan mereka melakukan hal itu, diantaranya adalah karena mereka terdorong untuk menghafal al Ayyamxix dan al anshab (genealogi) yang menjadi kebanggaan mereka. Dua hal ini banyak tersimpan dalam bentuk karya sastra, baik syair maupun prosa. Maka, pada masa Jahili sastra disebarkan melalui tradisi oral. Yaitu, seorang penyair meriwayatkan syairnya kepada generasi penyair berikutnya. Akhirnya proses seperti ini terus berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya kemudian terbentuklah satu kebiasaan yang akhirnya disebut dengan istilah Riwayah yang nantinya akan terkait dengan sanad (transmisi), matan (materi/isi syair) dan al ‘ardh wa al ada’ (penyampaian).

Akhmad Muzakki mengutip pendapat syauqi Dhaif mengatakan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyampaian sebuah karya sastra. Pertama, al tamaststul yaitu memberikan contoh pengungkapan karya sastra dengan susunan yang baik. Kedua, al diqqah yaitu sifat ketelitian dalam penyampaian karya sastra. Ketiga, al ada al sadid yaitu penyampaian yang benar dengan memberikan penjelasan bebrapa kata asing dan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra.

Adapun sanad dalam karya sastra harus di sampaikan oleh orang yang tsiqahxx dan orang-orang yang semasa. Hal ini dilakukan supaya sebagai informan dan orang yang menerima bisa bertemu langsung dan harus disampaikan secara rasional/oral (musyafahah) yang diikuti dengan ungkapan hadatsana atau akhbarana. Bahakan kepekaan pendengaran dan ketajaman pandangan menjadi persyaratan bagi seorang perawi.

Jika pada satu karya sastra terjadi periwayatan yang berbeda , maka solusinya adalah dengan menggunakan metode tarjih, yaitu memilih di antara dua riwayat mana yang lebih bisa dipertanggngjawabkan, baik dari segi riwayahnya, matan ataupun sanadnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh para muhadisun terhadap hadis. Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya perbedaan riwayat dalam sebuah karya sastra, dinataranya; 1) para peawi berpeang teguh pada tradisi hafalan, 2) untuk mempekuat argumentasi, 3) terjadinya kesalahan dalam ucapan, 4) bertambahnya jumlah perawi.

Periwayatan karya sastra tidak semata-mata karena mereka ingin melafalkan karya sastra, tetepi ada dua tujuan urgen dalam periwayatan karya sastra. Pertama, karya sastra menjadi sumber atau rujukan periwayatan ilmu pengetahuan. Maka, adanya periwayatan karya sastra berfungsi untuk; 1) menghindari pembengkakan riwayat, untuk menghindari munculnya informasi-informasi pubrikatif (palsu), 2) mengetahui penjelasan dan maksud dari bidang-bidang di atas. Kedua, karya sastra dapat dijadikan bukti dan contoh.

Beberapa diwan (antologi) yang memuat karya para sastrawan masa Jahiliyah dan masa Islam banyak dinisbatkan para perawi basrah dan Kufah. Karena mereka sangat memprhatikan kiteria-kriteria ketsiqahan seorang rawi. Misalnya al Ashma’i menulis enam diwan, yaitu; diwan Umru’ al Qais, diwan an Nabighah, diwan Zuhair, diwan Tharafah, diwan ‘Antarah, dan diwan ‘Alqamah bin ‘Abidah.

Di samping antologi yang telah disebutkan di atas, ada beberapa antologi yang diriwayatkan oleh bebrapa satrawan ternama dan mereka bukukan dalam sebuah antologi. Diantaranya;

1. Abu ‘Amr al Syaibani (w. 213). Ia mengunpulkan syair-syair sebanyak seratus delapan puluh kabilah. Dan ia menulis lima diwan, yaitu; diwan Umru al Qais, al Huthaitah, Labid, Duraid bin al Shimmah, dan al A’sha

2. al Ashma’i (w.215). Ia menulis beberapa diwan, diantaranya diwan Umru’ al Qais, al Huthailah, Labid, al Nabighah, al A’sha, Bisyr bin Abi Hazim, al Muhalhil, al Musyayyab, dan al Mutalamis

3. Ibn al Sikkit (w. 245). Ia menulis beberapa dari dua puluh diwan, di antaranya diwan Umru’ al-Qais, al Huyhailah, Labid, al-Asha, Bisyr bin Abi Hazim, al Muhalhil, al Mutalamis, al Musyayyab, ‘Adi bin Ziad, al Kahansa’, Qais bin al Khatim, Tamim bin Muqbil dan lain-lain.

4. Abu al Farj al Ashfahani (w. 245), ia menulis sepuluh kitab, yaitu; kitab fi Akhbar al Qabaxxi.

KRITIK TERHADAP SASTRA JAHILI

Satu-satunya bukti tertulis tentang sastra Jahili yang sampai pada kita adalah Mu’alaqat. Pada jaman Jahiliyah dikenal sebuah syair Mu’allaqat. Mu’allaqat adalah syair terbaik yang digantung di Ka’bah sebagai perhargaan atas syair dan penyairnya. Hal ini dilakukan karena Mu’alaqat tersebut mempunyai nilai yang agung, penting, dan berharga. Syair-syair ini begitu terkenal pada jaman Jahiliyah. Informasi yang sampai kepada kita mengatakan bahwa ada tujuh penyair yang karyanya dinyatakan pernah digantung di Ka’bah,yaitu: Umru’ al Qais, zuhair bin abi Salma, Tharafah bin al ‘Abd, Antarah, Amr bin Kultsum, Labid, dan Thawilah al Harist.

Sebagian sastrawan menyangkal keberadaan Mu’alaqat dengan argumen: Pertama, berita yang sampai kepada kita tidak jelas tentang cara menggantungkannya, waktunya, penulisnya. Kedua, dulu Ka’bah pernah rusak kemudian diperbaiki pada masa nabi Muhammad saw. Namun, tidak ada satupun berita yang mengabarkan tentang keberadaan Mu’alaqat. Ketiga, orang-orang Arab tidak mungkin menodai Ka’bah dengan kefasikan dan kemungkaran yang ada pada Mu’alaqat. Keempat, syair-syair yang baik dan dapat mempengaruhi orang Arab sangat banyak, pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa hanya Mua’alaqat yang di gantung di Ka’bah?. Kelima, andaikata ia digantung di dinding ka’bah, niscaya tidak ada perselisihan mengenai jumlahnya termsuk jumlah baitnyaxxii.

Lebih keras dari kritik diatas, yaitu kritik dari seorang ahli pemikir Islam dan juga sastrawan bernama Thaha Husein, dalam karya monumentalnya Fi al Adab al Jahili. Sebagaimana dikutip oleh akhmad Muzakki (2003: 19-22) bahwa Thaha Husein mengajukan tiga tesis yang sangat keras terhadap keragu-raguannya akan keautentikan sastra Jahili. Pada akhirnya dia menolak keberadaan sastra Jahili, munculnya pemikiran Thaha Husen ini sempat membuat gempar ulama konservatif Mesir dan kalangan akademis hingga akhirnya dia di usir dari lingkungan akademik Universitas al Azhar bahkan dituduh kafir. Adapun tesisnya sebagai berikut:

Pertama, Thaha Husen meyakini bahwa apa yang selama ini diyakini sebagai hasil karya para penyair Jahili bukan lahir pada masa Jahiliyah, melainkan pada masa Islam. Menurut dia karya-karya tersebut lebih banyak menggambarkan kehidupan dan keinginan kaum muslim daripada kehidupan Jahiliyah. Dia meyakini hanya ada sebagian kecil saja yang merupakan karya autentik yang berasal dari sastra Jahili. Karya-karya tersebut menurutnya hanya manipulasi para Rawi, rekayasa orang Badui, produk Linguis, pubrikasi dongeng, dan argumentasi para mufassir, muhaddis, dan Teolog

Kedua, adanya kesenjangan antara gaya intelektual yang ada pada sastra Jahili dengan kondisi intelektuak masyarakat Jahiliyah. Dilihat dari aspek bahasa dan seni, syair yang disandarkan kepada para penyair Jahili tidak mungkin milik mereka dan diciptakan sebelum turunnya al Qur’an.

Ketiga, Thaha Husein menganggap syair lebih awal daripada prosa, karena prosa lebih membutukan bahasa rasional yang amat perlu keterampilan dan kepandaina menulis. Dan pada saat itu masyrakat Jahili adalah masyarakat Ummi, masyarakat yang buta huruf. Dia mengatakan bahwa prosa adalah bahasa rasional, fenomenal intelektual, dan pengaruh kemuauan terhadap prosa lebih besar daripada syair. Jika kita menganalisis sejarah sastra Jahiliyah dengan menggunakan teori tersebut, maka sangat sulit –kalo tidak mustahil—untuk memperoleh sesuatu yang berharga. Setelah melewati beberapa pengujian dan penelitian, sampailah ia pada satu kesimpulan bahwa dalam syair-syia Jahili itu terdapat inkonsistensi antara bahasa, gaya, dan ide dengan kondisi jazirah arab yang pada saat itu masih belum bersatu. Hanya ada beberapa syiar Jahili yang dapat dimasukan dalam kategori syair Jahili yang autentik.

Atas keberatan pemikiran Thaha Husein beberapa pemikir menerbitkan beberapa buku tandingan untuk mengkritisi pemikiran Thaha Husein. Diantaranya adalah al Ru’yah al Hadhariyyah wa al Naqdiyyah fi Adab Thaha Husein karya Dr. Yusuf Nur Iwadh dan al Syi’r al Jahili karya Muhammad Abdul Mun’im al Khafaji. Mereka menjawab panjang lebar dan disertai dengan argument yang rasional.

BIBLIOGHRAFI

Abbas, Rafid. 2004. Penyair dan Syi’ir Jahiliyah dalam al Qur’an. Jurnal Madaniya. 1: 75-86

Al Iskandari, Akhmad dan Mustofa ‘Anani. tt. Al Wasith fi al Adabi al ‘Arabi wa Tarikhihi. Mesir: Dar al Ma’arif

Az-Ziyat, Akhmad Hasan. 2000. Tarikh al Adab al Arabi. Beirut: Dar al Ma’rifah

Budianta, Eka. 2003. Komunitas Sastra dan Sosiologi Sastrawan: Sisi Lain Selembar Daun. Dalam Raudal Tanjung Banua (Ed.) Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya

Hamid, Mas’an. 1995. Ilmu Arudh dan Qawafi. Surabaya: Al Ikhlas

Ibnu Mustofa, Akhmad bin Ibrahim. 2003. Jawahir al Adab fi Adabiyyat wa Insya’i lughoh al Arab. Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah

IKIP Malang. 1976. Penyederhanaan dalam Pembahasan Kesusastraan Arab dan Sejarahnya. Malang: Sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran, IKIP Malang.

Masyhur. 2003. Bahasa dan Sastra Arab (Peranan dan Pengaruhnya Terhadap Sastra Eropa). Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam. 1(3): 29-40

Muzakki, Akhmad. 2006. Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media

Muzakki, Akhmad. 2003. Kodifikasi Sastra Arab Periode Klasik (Masa Jahli). Lingua: 1(1): 85-94

Sarhan, Abu dan Muhammad al Jundi Jam’ah. tt. Al Adab al ‘Arabi wa Tarikhihi fi al Ashri al Jahili: li Thullab al Sanah al Ula min Kulliyati al Lughoh al Arabiyyah. Riyad: Mathabi’ al Riyadh

Endnotes:

i Akhmad Muzakki. 2003. Kodifikasi Sastra Arab Periode Klasik (Jaman Jahili). Lingua 1(1) hal 85

ii Masyhur. 2003.Bahasa dan Sastra Arab (Peranan dan Pengaruhnya Pada Peradaban Eropa). Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam. 1(3) hal 31

iii ِAhmad Naja Sarhan dan Muhammad al Jundi Jam’ah. tt. Al Adab wa Tarikhihi fi al ‘Ashri al Jahili. Riyadh: Mathabi’ Riyadh hal 29

iv Masyhur. Op. cit., hal 31-33

vِAhmad Naja Sarhan dan Muhammad al Jundi Jam’ah. op.cit hal 26-29

vi Bahar adalah cara membaca puisi dengan menggunakan lagu, semacam not musik yang kita kenal seperti do-re-mi dst. Tetapi bahar ini hanya menggunakan bunyi hidup dan mati saja.

vii Wazan disebut juga dengan istilah bahar adalah taf’ilah arudh yang diulang-ulang dengan tujan membentuk syi’ir. Dinamakan bahar karena kebaradaanya menyerupai lautan yang apabila diambil segala sesuatunya, maka sesuatu tersebut tidak akan ada habisnya

viii Qafiyah secara bahasa berarti tengkuk. Secara terminologi berarti bagian (taf’ilah) akhir dari suatu bait yang dihitung mulai dari dua huruf mati yang terakhir dan satu huruf hidup yang ada sebelumnya kedua huruf mati tersebut. Syekh muhammad damanhuri dalam mas’an hamid (1995; 38)

ix Mas’an Hamid. 1995. Ilmu Arudl dan Qawafi. Surabaya: Al-Ikhlas., hal 14

x Akhmad Muzakki. 2006. Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Jogja: Ar-Ruzz Media., hal 86

xi Ahmad al Iskandari dan musthofa ‘anani. tt. Al-Wasith fi al Adab al ‘Arabi wa Tarikhikhi. Mesir: Darul Ma’arif., hal, 54

xii Akhmad Muzakki. 2006. Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Jogja: Ar-Ruzz Media., hal 86-88

xiii Eka Budianta. 2003. Komunitas Sastra dan Sosiologi Sastrawan: Sisi Lain Selembar Daun. Dalam Raudal Tanjung Banua (Ed.) Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya

xiv orang Arab menggunakan sebutan ‘Ajam untuk bangsa di luar ras mereka

xv sebutan untuk para perawi syair. Pada saat itu orang-orang Arab sangat bangga dengan syi’ir mereka, sehingga syi’ir terbaik mereka hafalkan bahkan mereka riwayatkan kepada orang lain

xvi ِAhmad Naja Sarhan dan Muhammad al Jundi Jam’ah. op.cit hal 46-4s8

xvii IKIP Malang. 1976. Penyederhanaan dalam Pembahasan Kesusastraan Arab dan Sejarahnya. Malang: Sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran, IKIP Malang. Hal 61-62

xviii Abbas, Rafid. 2004. Penyair dan Syi’ir Jahiliyah dalam al Qur’an. Jurnal Madaniya. 1: 75-86

xix peritiswa-peristiwa penting yang terjadi di antara mereka

xx orang yang kapasitas intelektualnya dapat dipertanggungjawabkan atau dapat dipercaya

xxi Akhmad Muzakki. 2003. op. cit hal 85-90

xxii Abdul Mun’im Kafazi dalam Akhmad Muzakki, 2006. op.cit hal 14-16)

4 komentar: